Junjung HAM, Rakyat Sengsara?
(Ilustration Source: instagram.com) |
Dari zaman perang
hingga zaman perundingan, istilah pengungsi santer terdengar ditelinga.
Menyinggung persoalan pengungsi tentu tidak luput dari konsep hak asasi
manusia. Dua hal ini acap kali menjadi ujung tombak perhatian masyarakat dunia
terkait unsur kemanusiaan yang terdapat dalam pembahasan pengungsi.
Negara-negara di dunia berlomba-lomba untuk memperjuangkan hak-hak para
pengungsi. Hal ini dapat terlihat dari diadakannya Konvensi 1951 dan Protokol
1967. Beberapa negara besar seperti Australia dan Amerika Serikat telah
meratifikasi konvensi tersebut.
Pada dasarnya, semua
negara yang telah meratifikasi konvensi wajib menerima dan memberikan
perlindungan terhadap pengungsi. Begitupun sebaliknya, negara yang belum
meratifikasi konvensi diharapkan juga turut andil dalam perlindungan bagi
pengungsi. Salah satunya adalah negara Indonesia. Meskipun negara Indonesia
tidak pernah menjadi anggota dari pertemuan-pertemuan multilateral tersebut dan
hingga saat ini belum meratifikasi perjanjian terkait pengungsi, tetapi
Indonesia tetap menerima pengungsi sebagai wujud apresiasi nilai-nilai luhur
terhadap HAM.
Hal
yang menjadi perhatian adalah pada Konvensi Pengungsi 1951 dimuat pasal tentang
pelarangan terhadap pengusiran pengungsi. Pelarangan pengusiran pengungsi
secara implisit diterangkan disini. Namun dalam prakteknya, cukup banyak
negara-negara yang melakukan pengusiran terhadap pengungsi atau mengirim
pengungsi tersebut ke negara ketiga. Hal ini bukan semata-mata karena negara
tersebut tidak menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, tetapi ada beberapa faktor,
seperti ketersediaan ruang tempat tinggal dan fasilitas yang kurang memadai.
Namun sangat
disayangkan jika suatu negara yang dianggap mampu untuk menerima pengungsi justru
bersikap acuh tak acuh. Organisasi Internasional dibawah PBB, UNHCR, yang
menangani permasalahan serta menentukan status bagi pengungsi seolah-olah
berada dibawah kendali negara-negara berkuasa. Ironinya, Negara Australia yang
menjadi negara yang meratifikasi Konvensi mempunyai kebijakan Turn Back The Boat. Kebijakan ini
membuat pengungsi tidak bisa masuk ke negara yang menandatangani Konvensi
Pengungsi Internasional tersebut, bahkan menggiring para pengungsi ke perairan
Indonesia. Kebijakan pemerintah
yang diterbitkan oleh Perdana Menteri Tony Abbot ini justru melanggar kode etik
Konvensi Pengungsi Internasional. Sudah seharusnya negara yang menjadi anggota
Konvensi Pengungsi menerima dan menampung pengungsi di negaranya, bukan
sebaliknya.
Seperti
yang sudah disebutkan sebelumnya, negara Indonesia bukan merupakan negara pihak
konvensi yang menyetujui penampungan pengungsi. Namun, pada prakteknya,
Indonesia tetap menerima pengungsi karena berpegang teguh pada sejarah bangsa
mengenai HAM. Kondisi ini tidak didukung dengan ketersediaan tempat dan
kesesuaian jumlah penduduk Indonesia yang kini menempati posisi ke-4 terbanyak
di dunia setelah India. Selain itu, negara Indonesia merupakan negara
berkembang yang mempunyai tingkat kemiskinan yang tergolong masih tinggi. Masih
banyak warga negara yang hidup melarat dan tidak mempunyai rumah tinggal yang
layak, bahkan ada yang menjadi homeless
person. Menurut data dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia, sebanyak
20,5 persen penduduk Indonesia tidak memiliki rumah. Kondisi ini tentu sangat
memprihatinkan, mengingat Indonesia menjadi negara yang menampung pengungsi.
Meskipun kebutuhan pengungsi dibiayai oleh IOM dan UNHCR, namun pemerintah
Indonesia juga mengambil andil yang cukup besar di dalamnya.
(Ilustration Source: jakartasatu.com) |
Negara
seakan-akan lupa dan sibuk menunjukkan eksistensinya di dunia Internasional.
Sudah sepantasnya negara yang menjunjung tinggi HAM memperhatikan kesejahteraan
warga negaranya terlebih dahulu. Jika masih banyak warga negara yang tidak
terpenuhi haknya, maka HAM juga tidak bisa dijadikan alasan untuk dapat
menampung pengungsi.
Sejatinya,
dunia internasional mempunyai sekat antar negara, dimana setiap negara berhak
tidak ikut campur atas urusan negara lain dan sekat ini membuat suatu negara
bisa lebih konsen atas urusan rumah tangganya. Dalam hal ini, negara Indonesia
berhak menolak pengungsi ‘buangan’ dari negara Australia. Karena pada dasarnya,
permasalahan pengungsi bukan menjadi fokus utama bagi pemerintah Indonesia.
Terlebih karena Indonesia bukan merupakan negara yang menandatangani Konvensi
1951 dan Protokol 1967. Untuk menindaklanjuti hal tersebut diperlukan ketegasan
dari pemerintah Indonesia agar dapat menyuarakan haknya kepada negara Australia
dan dunia internasional. Tidak akan ada HAM yang ditegakkan jika masih ada
pribumi yang sengsara.
0 Response to "Junjung HAM, Rakyat Sengsara?"
Post a Comment